Senin, 22 November 2010

-CINTA (tidak) TERLARANG-

Senja masih menyisakan warna hitam kemerahan. Lantunan tanda pengagungan, persaksian dan ajakan menyapa Tuhan menggema disetiap sudut bangunan berlantai tiga. Bangunan yang terletak ditengah-tengah bangunan-bangunan lain, dan dikelilingi bangunan tempat tinggal orang-orang suci itu menjadi saksi bahwa manusia tidak mempunyai kemuliaan disisi-Nya. Dan hanya orang-orang yang bertaqwa pada Tuhanlah yang kelak mempunyai derajat kemulian itu.
Bangunan yang setiap lima kali dalam sehari rame dikunjungi orang-orang suci itu menyimpan beribu misteri yang tak pernah bisa dijawab. Didalamnya berkumpul ribuan tabiat manusia yang berbeda satu dengan lainnya. Bahkan diantaranya ada juga yang berbeda dengan tabiat dirinya sendiri, bertolak belakang dengan kehidupannya ketika berada didalam dan diluar bangunan itu. Entah apa nama bangunan itu, yang jelas Marwah pernah menceritakan padaku saat-saat dimana Marwah menjalani hidupnya dalam bayang-bayang bangunan yang sudah usang itu.
Marwah adalah teman SMA-ku dulu. Ia adalah perempuan desa yang mempunyai wajah ayu nan jelita. Bibirnya lembut dan tipis, hidung mancung, dagunya seperti tawon yang sedang bergantungan, giginya putih memancar laksana mutiara, dan matanya bening seperti bintang kejora yang sedang bersinar terang. Dan sungguh semua yang dimilikinya menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang melihatnya. Aku pun demikian, ketika untuk pertama kalinya sejak ku berpisah dengan Marwah empat tahun silam. Aku baru melihat kembali Marwah ketika ia baru saja pulang belajar dari Malang.
Marwah baru sebulan tinggal disamping bangunan itu. Ia bersama tujuh teman lainnya menempati ruangan seluas 7x7 meter. Diantara teman-temannya, Marwahlah yang paling cantik. Rambutnya yang selalu dipotong pendek, ia ditutupi dengan jilbab biru kesukaannya. Jika sore datang, ia akan memakai warna serba biru untuk menutupi tubuh seksinya. Dan meski langit sore telah berubah merah, siluet kebiruannya tetap memamancar bersamaan dengan gamis yang ia kenakan.
Dintara teman-temannya, Sofia Tyas Natalia yang paling perhatian dengan Marwah. Perempuan yang biasa dipanggil Sofi itu dengan setia dan sabar selalu menemani Marwah berkeliling kebun dibelakang bilik yang mereka tempati. Sofi selalu berharap, teman barunya itu kerasan tinggal dengan kehidupan barunya yang jauh dari orang tua, jauh dari hiruk pikuk pergaulan yang selama ini Marwah jalani di rumahnya, lebih tepatnya yang ia jalani “bersamaku”.
Hari-hari pertama Marwah tinggal bersama Sofi dijalani seperti kebanyakan teman-teman lainnya. Saling menyapa, memberi dan saling mencurahkan pengalaman masa lalunya masing-masing. Namun, lama-kelamaan Sofi menunjukkan sesuatu yang berbeda pada Marwah, sesuatu yang tidak Sofi tunjukkan pada teman sekamar lainnya. Sofi begitu menyanyangi Marwah dan ia selalu memperhatikannya. Sofi, perempuan yang sudah setahun tinggal lebih lama dari Marwah selalu memperlakukan Marwah seperti orang yang sedang dimabuk cinta.
Awalnya Marwah tidak merasa keberatan dengan apa yang dilakukan Sofi. Marwah merasa hal itu masih wajar-wajar saja, dan ia pun tak menghiraukannya sama sekali. Marwah menganggap, Sofi adalah teman dekat yang selalu mendampingi dikala suka dan duka. Seorang kakak yang menyanyangi adiknya, atau seorang Ibu yang siap menjaga anak-anaknya dari gangguan orang lain. Marwah pun mulai sadar, kalau ternyata Sofi mencintainya. Dan semua telah terlambat, Marwah baru benar-benar sadar, ketika Marwah sudah merasa nyaman dan tentram berada disamping Sofi.
Sofi yang tidak kalah cantik dengan Marwah menyatakan cintanya pada Marwah. Keduanya pun menjalani cinta yang tak seharusnya. Meski sempat terkejut mendengar pernyataan cinta Sofi, Marwah yang sudah terlanjur nyaman hidup bersama Sofi tak dapat mengelaknya. Hati Marwah luluh dalam pelukan cinta sesama jenis, dan keduanya mulai berputar-putar dan terbang dalam lingkaran cinta terlarang ini.
Sofi yang selama ini menyanyangi dan memperhatikan Marwah pun justru telah menjadikan sosok Marwah menjadi perempuan hina, atau lengkapnya sangat hina. Sangat kontras dengan tujuan keluarga Marwah yang berharap menjadikannya perempuan suci. Meski begitu, ku menyebut itu sebagai pelajaran yang mengandung banyak hikmah didalamnya. Perempuan berhak atas pilihannnya, dan perempuan mempunyai tanggungjawab yang sama atas apa yang menjadi keputusannya.
Marwah menjadi lesbian bukan karena pilihannya. Ia sendiri mengaku sadar bahwa kehidupan barunya bukanlah sesuatu yang baik. Dan semua yang dijalani bersama Sofi tidak lain karena Marwah pernah kecewa dengan keputusan orang-orang disekelilingnya. Keputusan orang tuanya yang melarang menjalin hubungan dengan aku. Dan orang yang paling salah atas apa yang menimpa Marwah adalah aku. Dimana aku pun begitu saja menerima pilihan itu, dengan tidak mampu berbuat apa-apa untuk sekedar melawannya, atau sekedar menyakinkan bahwa pilihan dan keputusan melarang cinta yang tumbuh dari hati adalah salah. 
Hari-hari berikutnya, Sofi dan Marwah selalu terlihat bersama. Baik ketika sedang makan, belajar dan bermain. Setiap malam, Sofi pun selalu tidur disamping Marwah. Entah karena keterbatasan tempat tidur, tapi yang pasti setiap pagi keduanya selalu mengantre di depan kamar mandi. Pun ketika teman-temannya sedang belajar diluar kamar, Sofi dan Marwah menikmati keberduaan dalam keterasingannya.
Sofi pun selalu hadir dalam kehidupan Marwah, begitu sebaliknya. Pun ketika Marwah sedang menikmati masa liburan di rumah bersama keluarganya. Tiap malam, Sofi tak pernah lupa untuk selalu mengucapkan kata “selamat tidur” buat Marwah. Pun ketika pagi, siang atau sore harinya, dan lebih-lebih ketika jam makan telah tiba. SMS itu Marwah terima melalui ponselnya yang dibeli bersamaku ketika SMA dulu.
Orang tuanya yang sudah sepuh dan sering sakit-sakitan memaksa Marwah pulang untuk menjaga dan merawat keduanya. Dan saat Marwah sedang membutuhkan sosok Sofi untuk mengayominya, kekasihnya itu justru hilang entah kemana. Dalam keadaan terguncang itu, Marwah menceritakan semuanya kepadaku. Dari yang terang hingga yang paling gelap. Mulai dari bangunan tua berlantai tiga yang sudah usang, tentang Sofi dan tentang kamarnya yang hanya 7x7 meter dan ia tempati bersama dengan tujuh teman lainnya.      
Sebenarnya, Marwah yang terlihat begitu anggun dalam balutan warna biru pernah menjadi kekasihku. Masa-masa itu berjalan begitu singkat, tepatnya hanya beberapa saat sebelum Marwah belajar ke Malang. Ku yang telah mengaguminya sejak kelas X, baru ku nyatakan dikelas XII. Namun, karena ia terlahir dari orang tua yang berdarah biru. Cinta yang dulu pernah kita jalin pun hanya mengambang dalam bayang-bayang kegelapan. Terombang-ambing badai, gelombang, dan terbawa oleh pusaran airnya yang mengantarkanku sampai kedasar samuderanya, GELAP.
Marwah kecewa dengan keputusan orang tuanya, tapi sebenarnya aku-lah yang paling kecewa atas keputusan itu. Ku menyebutnya, “cinta terlarang yang dikonstruk oleh budaya feodalisme jahiliyah”. Padahal, bunga mawar pun masih terlihat indah meski disekelilingnya tumbuh duri-duri. Pun langit yang tidak selalu biru merona, yang kadang mendung dan kadang berawan, kadang gelap dan kadang terang. Itulah kehidupan, begitupun dengan cinta.
Dalam kesendirian, ku selalu berdo’a pada Tuhan untuk kebahagiaan hidup Marwah. Semoga Marwah bisa menemukan kembali kehidupannya yang dulu. Kehidupan sebelum Marwah menulis surat padaku: “Ku tak akan pernah mencintai dan menjalin hubungan dengan laki-laki selain-Mu, karena aku hanya mencintai-Mu”, tulis Marwah dalam suratnya yang ditujukan padaku sebelum pergi ke Malang.
Ku pun selalu bertanya tentang cinta terlarang, “Apakah cintaku atau cintanya Sofi pada Marwah yang kalian sebut cinta terlarang?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar